Review Trilogi Dark Forest by Cixin Liu, dan sedikit renungan
Satu bulan terakhir saya habiskan untuk menyelesaikan trilogi Remembrance of Earth’s Past, atau kadang disebut Trilogi Dark Forest. Buku ini adalah scifi — thriller, yang memberi horror nusuk tulang, bahwa alam semesta bukan taman bermain indah, tapi belantara dimana penghuni harus sembunyi, atau dibunuh.
Konsep dari Dark Forest bisa menjadi salah satu jawaban dari Fermi Paradox. Bunyinya seperti ini, jika secara statistik sangat banyak planet yang mungkin ada di galaksi, kemana mereka?
Pertanyaan hasil duduk ngopi Enrico Fermi bersama dengan Edward Teller, Herbert York, Emil Konopinski pada 1950.
Kanal YouTube Kurzgezagt sendiri punya beberapa video soal paradoks ini, dan mereka pun telah membahas Dark Forest.
Bagaimana jika, alam semesta sebenarnya tidak kosong tapi penuh dengan peradaban berteknologi? namun mereka memilih bersembunyi. Bersembunyi dari sapa? dari peradaban yang lebih tinggi dan bisa memusnahkan peradabaan lain sekali dor.
Diam adalah survival.
Overall, plotnya bagus, pembawaannya tidak berat dengan konsep sains kompleks, cerita mudah dipahami, plotwist + mindblown. Horrornya nusuk dan mengguncang iman. 10/10
Mari breakdown. Review per buku bisa scroll ke bawah.
Dari segi Scifi
Sejak pertama kali baca buku Cixin Liu, Wandering Earth, saya jatuh cinta dengan karya Liu Cixin. Konsep scifi yang dipakai Liu Cixin di luar imajinasi orang biasa. Sampai saya bergumam “kok bisa kepikiran lho sebagus ini”.
Pesawat seukuran tata surya? multi dimensi? Alien cerdas? Semua dibawa dengan cara di luar yang kita lihat dari cara hollywood.
Selain itu, pembaca tidak perlu paham 100% soal sains buat paham cerita. Cara penulisan Cixin ga sama dengan penulis barat (setidaknya dari beberapa novel scifi yang pernah gua baca) yang repot-repot tulis beberapa paragraf bahkan beberapa halaman cuman buat jelasin duduk basic dari konsep sains yang mau digunakan di cerita.
Liu Cixin pake suatu konsep sains teori tanpa menyebut teori tersebut. Misal 11 dimensi, dia tidak menyebut string theory. Ada partikel yang identik meski dipisahkan jarah, tapi Cixin tidak menyinggung quantum entangelement.
Kemudian ada blackhole evaporate tapi ia juga tidak menyinggung hawking radiation. Pelit kredit? menurut sayaini sah-sah saja, biar novel ga rasa textbook
Dari segi plot
Buku pertama trilogi, Three Body Problem, punya pace yang sangat lambat. Buku kedua mendingan tapi masih lambat, buku ketiga jadi cepat dan masalah beruntun datang bertubi-tubi.
Namun ada kesamaan dari ketiga buku ini, saya tidak bisa menebak ending dari masing-masing buku meski sudah di 50 halaman terakhir.
Ending buku pertama bikin “hooo,” ending buku kedua bikin “anjenggggg” (dengan sedikit stress), buku kita bikin “fakkkkk” (lebih stress lagi).
Soal mindblown atau plot twist atau kecemerlangan rangkaian plot, boleh dikata 8/10 dengan beberapa kekurangan.
Cixin jelas bisa nyembunyiin ending, tapi giliran sudah ending cerita, reaksi pembaca bisa “ohh gitu” “wah ga ketebak,” atau “apa iya ini emang skenario terbaik yang bisa dikasi?”
Rangkaian cerita dari awal sampe akhir page turner sekali, saya akui, tapi beberapa ending bikin mikir kayak “kenapa ga A deh,” atau “kenapa si B ga ngelakuin ini?” yang penasaran kita kemudian ga dijawab di buku.
Dari segi penulisan
Beberapa review bilang di terjemahan inggris (yang kemudian dipake buat diterjemahin ke indo) itu ada lost translation. Beberapa catatan yg dikasi di user goodreads menurut gua ada yg kasi kalimat lebih jelas. Misal
“Make time for civilization, for civilization won’t make time.” I believe the original quote 给岁月以文明,而不是给文明以岁月 means something like “bestow upon time the gift of civilisation, instead of giving civilisation more time”
Kemudian pembaca harus familiar dengan nama China, yang seharunsya tidak menjadi masalah. Overall tidak rumit untuk sebuah trilogi berpremis berat, mudah dibaca, penjelasan tidak kompleks, konsep plot juga sekali baca paham.
Hikmah filosofis
Harus saya akui trilogi ini bikin saya merenung banyak, apalagi di buku ketiga. Memikirkan alam semesta dan masa depan manusia.
Mulai dari sisi manusia. Buku ngasi liat ego manusia tidak ada apa-apanya di alam semesta, teknologi manusia bukan apa-apa, peradaban manusia cuman secuil di galaksi. Baik dilihat dari space, dan time. Waktu, maksudnya peradaban manusia yang baru beberapa ribuan tahun apalah daya dilihat dari timeline alam semesta yang miliaran tahun. Space, kita hanya planet dari satu bintang di antara miliaran bintang di galaksi. Baru satu galaksi ya, belum ngitung galaksi lain.
Ketiga buku diisi dengan sisi gelap manusia yang membunuh satu sama lain atas nama politik, perbedaan identitas, dsb — menberi kesan kuat kuat, tapi tidak terlalu dominan dibanding “hikmah lain”.
Makin ke ujung makin sadar manusia tidak ada apa-apanya. Yang besar di peradaban bumi itu bukan kemajuan teknologinya, tapi kesombongannya.
Kemudian alien datang, tapi manusia masih sombong, dan . . ya gitu lah.
Buku ini juga berhasil membenamkan experience horor soal alam semesta yang indah. Horror nya kerasa banget, keren bat dah Cixin. Ini adalah bacaan scifi thriller pertama saya, dan sukses bikin merinding.
Dek, alam semesta bukan tempat yang indah layaknya taman bermain dimana kita bisa berinteraksi dengan siapa saya. Tapi adalah belantara dengan masing-masing penghuninya memegang senjata.
Dark Forset adalah tempat yang menyeramkan, banyak pemburu, banyak peradaban dengan senjata pemusnah bersembunyi di gelapnya semesta. Satu saja orang meninggalkan jejak, atau mengekspos posisi, dor.
Kenapa masing-masing peradaban harus saling menghancurkan? kenapa tidak kolaborasi dan kooperasi? silahkan dibaca bukunya. Ada kaitannya dengan prisoner’s paradox.
LU POKOKNYA HARUS BACA
Memulai trilogi ini adalah keputusan terbaik dan terburuk gua tahun ini. Terbaik karena bisa cicipin scifi apik buah tangan Cixin, terburuk karena sehabis baca gua nya stres. Sekian. Mari lanjut ke review masing-masing buku.
The universe is a dark forest. Every civilization is an armed hunter stalking through the trees like a ghost, gently pushing aside branches that block the path and trying to tread without sound. Even breathing is done with care. The hunter has to be careful, because everywhere in the forest are stealthy hunters like him. If he finds another life-another hunter, angel, or a demon, a delicate infant to tottering old man, a fairy or demigod -there’s only one thing he can do: open fire and eliminate them.
Review masing-masing buku
Review The Three Body Probem (Trisurya) — Cinxin Liu
*review buku pertama ditulis sebelum menyelesaikan keselurhan trilogi. Juga berlaku untuk buku kedua.
Ini adalah buku kedua dari Liu Cixin yang saya selesaikan. Sebelumnya saya membaca The Wandering Earth, buku berisikan 10 cerpen populer Cixin. Satu kesan yang saya dapatkan ketika membaca karya beliau untuk pertama kali: segar.
Premis dan plot yang ditawarkan oleh Liu Cixin di karyanya sangat baru dan berbeda dari sci-fi barat. Beberapa bulan saya yang lalu saya menyelesaikan Project Hail Mary tulisan Andy Weir — yang juga merupakan penulis The Martian. Kala itu saya terkagum dengan konsep dan plot Project Hail Mary, bagaimana ia menghubungkan pengetahuan sains kita saat ini, ke beberapa situasi yang luar biasa.
Saya terkagum dengan Project Hail Mary, dan merasa ini adalah scifi terbaik yang pernah saya baca. Namun ketika saya membaca tulisan Liu Cixin, Project Hail Mary seketika terasa hambar.
Tidak untuk menepis keunggulan Project Hail Mary, tapi kisah yang ditulis Liu Cixin benar-benar di luar imajinasi — mari kita sebut berasal dari imajinasi yang luar biasa — dan berjalan dengan plot yang mindblown.
Mari kembali ke The Three Body Problem (terjemahan: Trisurya). Buku ini adalah pembuka dari trilogy Remembrance of Earth’s Past, kadang juga disebut trilogy Dark Forest.
Konsep Dark Forest yang ditulis oleh Cixin Liu — yang menjadi judul buku kedua — sering diangkat sebagai salah satu jawaban dari Fermi Paradox.
Bagi yang belum tahu, Fermi Paradox adalah pertanyaan: “Jika ada jutaan galaksi dan masing-masingnya punya jutaan bintang yang setidaknya punya satu planet, kenapa alam semesta sangat ‘diam’?”
Sejauh teleskop memantau, kenilihan dan keheningan abadi yang kita temukan di penjuru semesta.
Dark Forest: peradaban cerdas ‘diam’ untuk menghindari pemburu. Konsep ini pernah dibahas oleh Kurzgesagt.
Buku pertama, The Three Body Problem sendiri belum sampai menyentuh ke Dark Forest. Di sini saya tidak akan menulis plot dan kejadian di buku, karena saya murni ingin menulis ulasan spoilerless.
Jujur, buku ini tergolong slowburn. Latar waktunya bergantian antara karakter utama Ye Zhetai (masa lalu, sekitar Cultural Revolution), dan Wang Miao (masa kini).
Pengenalan karakter juga tidak terlalu kuat. Selama proses sloburn itu, Liu Cixin membawa pembaca lompat-lompat antara satu kejadian dan kejadian lain. Tidak terlalu sulit untuk menghubungkan antar kejadian tersebut, karena Liu Cixin mengenalkan karakter yang terlibat dari beberapa kejadian sekaligus. Seperti Ye Zhetai yang tampil di masa lalu dan masa kini.
Tapi pertanyaan seperti “kemana arah cerita ini” belum menemukan titik terang sekitar setengah buku. Ketika itu baru pembaca mulai diberi tahu apa yang ada dibalik kejadian, dan itu bari awalan.
Selain ke-slowburn-annya, saya menyukai semua aspek dari novel The Three Body Problem. Ada aspek thriller dan juga filosofis yang memancing pembaca merenungkan sedikit problem yang sedang dihadapi karakter.
Aspek scifinya saya akui cukup biasa. Liu Cixin hanya bermain sedikit dengan teori diluar konsep sains saat ini. Keunggulan terbesar di sini adalah skenario masa depan yang dibayangkan Cixin, ketimbang mencari konsep teknologi paling di luar pengetahuan kita saat ini.
Di akhir — semoga bukan spoiler — Cixin sedikit bermain dengan String Theory. Dari mana ia mendapat interpretasi seperti itu? Saya tidak tahu. Tapi yang perlu dicatat Cixin jarang menyebut nama teori A teori B dsb. Jadi pembaca aman dari rasa “dikuliahi”.
Bedanya dengan Project Hail Mary, di Project Hail Mary terasa Andy Weir menggunakan teori yang sudah ada, dengan sangat tepat, elegan, tapi tetap memberi kejutan. “Oh teori ini dipake gini toh” dsb. Kadang juga memberi kesan kuliah umum, tapi tetap seru untuk dibaca.
Sekian.
Review The Dark Forest (Belandara) — Liu Cixin (non spoiler)
Buku ini adalah buku kedua dari Remembrance of Earth’s Past. Teman-teman bisa review buku pertama, The Three Body Problem (disini).
Buku ini lebih horror dari buku pertama. Buku ini melanjutkan bagaimana reaksi bumi ketika mengetahui ada peradaban yang lebih maju dari bumi, dan alien tsb mengumumkan “I’m coming for you, 400 years for now.” Apa yang akan manusia lakukan dalam waktu yang relatif singkat–dalam kacamata peradaban–tersebut?
Buku ini slowbrun, tapi tidak selambat buku pertama, dan lebih tebal. Cixin dapat memperkenalkan masing-masing karakter dengan baik, lengkap dengan motif politik masing-masing.
Alurnya tidak seperti The Three Body Problem yang maju mundur. Buku ini konstan maju, dengan beberapa kali time skip. Banyak plot-twist yang mengisi alur hingga akhir buku, mengimbangi slow burnnya.
Tapi pembaca sangat sulit membaca kemana arah kisahnya. Saya bahkan tidak tahu ending seperti apa yang diberikan penulis hingga 50 halaman terakhir buku (dari total 620 halaman versi terjemahan).
Dan di 50 halaman terakhir itulah, bulu kuduk berdiri dan kengerian masuk ke tulang.
Apakah harus baca buku pertama? Menurut saya iya. Tapi saya rasa pembaca yang tidak ingin menghabiskan terlalu banyak waktu, cukup membaca ringkasannya saja. Sangat sedikit tokoh di buku pertama yang lanjut ke buku kedua, dan buku pertama hanya untuk pengantar premis, tidak ada plot twist yang mengharuskan pembaca kembali ke buku pertama untuk memahaminya.
Ga salah konsep Dark Forest mulai sering dibawa ke diskusi sains populer untuk membahas paradox fermi.
Review The Death End — Liu Cixin
Buku penutup dari trilogi Remembrance of Earth’s Past. Ketika saya menulis paragraf ini, saya baru 20 persen dan mentally exhausted :’).
Buku ini pace nya lebih cepat dari dua buku pertama, lebih horror, lebih banyak timeskip yang ga nanggung2, lebih pelik, dan lebih mindblown, lebih stress.
Emosi dibolak balikan dalam beberapa puluh halaman pertama, dan ada campuran horror dan depressing menyelesaikan buku ini.
Buku ini membuat saya memikirkan eksistensi manusia di alam semesta. Ga cuman ngasi horror tapi juga menggeser paradigma gua soal beberapa bidang sains yang gua minati, seperti perburuan alien cerdas.
Buku ini benar-benar menaik turunkan mental pembaca. Tiba-tiba bagus, tahu2 ada yang buruk terjadi. Tiba2 hopeless, trus ada aja sesuatu yg terjadi, tapi emang ngasi surprise dan ga ketebak.
Pace-nya lebih cepat daripada kedua buku sebelumnya, time skip lebih banyak dan lebih jauh, dan konsep scifi yang dipake lebih mindblown,
Liu Cixin hobi mengobrak-abrik konsep fisika fundamental untuk bahan cerita, seperti strong force, sinyal gravitasi, hingga intradimensi. Sedikit apresiasi buat Cixin karena ga boros pake kata kuantum :D
Buku ini berhasi bikin gua sedih, stress, takut dan hopeless. Di tengah2 baca buku bisa ngerasa sempit, dunia dan hati.Buku ini merubah gua, mentally and philosophically.